Pernah dijajah oleh kerajaan Islam, membuat kota Gorontalo kental akan kebudayaan agama Islam. Kebudayaan tersebut, turut ambil andil dalam bidang arsitektur yang digunakan pada berbagai rumah adat yang ada di kota Gorontalo. Rumah adat Bantayo Poboide dan rumah adat Dulohupa, bisa menjadi bukti adanya keterkaitan dengan budaya Islam. Untuk mengetahui lebih dalam, simak ulasan berikut.
1. Rumah Adat Bantayo Poboide
Bantayo miliki arti sebagai gedung atau bangunan, sedangkan poboide yang berarti tempat bermusyawarah. Jika kedua kata tersebut digabungkan, akan memiliki makna sebagai bangunan yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Sesuai dengan nama yang disandangnya, bangunan khas dari Gorontalo ini memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat melakukan musyawarah. Atau bisa disebut sebagai tempat berkumpulnya masyarakat, ketika ingin bermusyawarah.
Selain tempat untuk musyawarah, gedung tradisional ini memiliki fungsi lainnya. Misalnya saja ketika ada upacara adat, upacara pernikahan, penerimaan tamu kenegaraan, dan masih banyak lagi acara adat lainnya. Gedung satu ini, dibangun menggunakan material kayu hitam dan kayu coklat kemerahan. Jenis kayu tersebut, dianggap memiliki daya tahan kuat, sehingga cocok sebagai material bangunan.
Ada komposisi pemilihan kayu, selama proses pembangunan Bantayo Poboide. Kayu hitam biasa digunakan masyarakat untuk membuat bagian kusen, pagar blankon, ukiran yang ada pada ventilasi udara, hingga pegangan tangga. Sedangkan kayu coklat biasa digunakan di pintu, jendela, lantai bangunan, hingga dinding gedung tersebut.
Gedung satu ini didirikan di luas lahan sekitar 515,16 meter persegi. Di bagian depannya, terdapat sekitar 8 tiang yang disemar dengan komposisi yang pas. Komposisi tersebut terdiri dari 2 tiang yang terletak di bagian luar, sedangkan 6 tiang lainnya terletak di bagian lainnya. Peletakkan tiang tersebut, ternyata memilki makna tersendiri bagi pembuatnya.
Dua tiang yang ada di bgaian depan terluarnya, memiliki ukuran lebih besar yang biasa disebut Wolihi. Kedua tiang tersebut menancap ke tanah, yang berfungsi sebagai penyangga kerangka atap gedung. Wolihi sendiri, dilambangkan sebagai kerajaan Limutu dan Gorontalo. Dimana kerajaan tersebut, bertekat untuk terus menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang berlangsung abadi. 6 tiang lainnya melambangkan ciri khas masyarakat lou duluwo limo lo pahalaa.
Jika melihatnya dengan seksama, Anda akan menemukan 2 tangga yang tampak menghiasi gedung tradisional tersebut. Tangga pada sisi kiri menjadi tempat untuk memasuki ruangan, dan sisi kanan menjadi tempat untuk meninggalkan gedung tersebut. Kedua tangga tersebut, memilki anak tangga yang berjumlah 8. Angka tersebut melambangkan 8 linula, yang berhasil menguatkan kerajaan Limutu.
Gedung bersejarah satu ini, ditopang sekitar 32 tiang dasar (potu) yang berfungsi sebagai pondasi bangunan. Penyematan 32 tiang tersebut, melambangkan seperti penjuru mata angin. Lambang tersebut memiliki arti, agar penguasa negeri untuk terus memperhatikan seluruh kepentingan rakyat tanpa memandang bulu.
Dalam pembangunannya sendiri, gedung satu ini menggunakan kayu pilihan yang berasal dari hutan tua yang ada di Gorontalo. Selain itu, gedung satu ini memiliki ukiran bunga suku (amu), yang menghiasi 2 tangga serta bagian dasar palepelodan sulambe. Semakin berkesan antik, sebab adanya lampu yang tergantung di langit langit yang dihiasi dengan bunga teratai besar. Semua ornamen tersebut, menyatu sangat indah di dalam cahaya yang dipancarkan lampu tersebut.
Tidak banyak yang mengetahui bila, bangunan ini memiliki ruang lainnya selain ruang utamanya. Bangunan yang jarang diketahui yaitu ruang untuk menerima tamu, tempat persidangan para tokoh agama dan para baate, dan ruang seba guna yang biasa digunakan untuk kegiatan kerajaan. Bahkan di ruang serba guna tersebut, menjadi ruang privasi Raja beserta keluarganya.
Rumah tradisonal satu ini, memilki beberapa sekat pada bagian dalam gedungnya. Setidaknya ada 4 bagian utama sekat dalam gedung yang terdiri dari ruang dalam, ruang belakang, ruang tengah, dan tidak lupa ruang tamu. Ruangan tamunya memiliki bentuk memanjang, yang ditambahkan dengan kamar di setiap ujung bagian kanan dan kirinya. Sedangkan pada ruangan tengahnya, memiliki ukuran paling luas daripada ruangan lainnya.
Dengan luas ruang tengah yang dimilikinya, masih ada dua kamar yang terletak di sisi kiri ruangan tersebut. Ruang kamar yang berada di ruang tengah, memiliki bentuk dan ukuran yang sama seperti kamar yang terletakdi bagian ruang tamu. Hanya saja ruang kamar satu ini, terdapat pintu yang bisa digeser ke samping. Ruang tengah tampak istimewa, lantaran digunakan untuk berbagai aktifitas.Pada ruang belakangya terdapat dapur beserta kamar mandi, yang letaknya memanjang.
2. Rumah Adat Dulohupa
Jika gedung sebelumnya berfungsi sebagai gedung musyawarah, maka gedung satu ini memiliki arti mufakat. Sesuai dengan nama yang dibawanya, gedung satu ini berfungsi sebagai tempat untuk melakukan musyawarah dan mendapatkan mufakat. Bangunan satu ini, bisa dikatakan sebagai pengadilan, untuk mengadili individu atau memutuskan berbagai perkara yang terjadi saat masa pemerintahan kerajaan Gorontalo.
Ada 3 hukum yang diterapkan di tempat ini yakni Buwato Syara, Buwato Bala, dan Buwato Adati. Setiap hukum tersebut, memiliki cara berbeda untuk mengadili invidu yang dianggap bersalah. Buwato Syara, merupakan hukum yang didasari dari agama Islam. Buwarto Bala, menjadi hukum pertahanan ataupun keamanan yang berfungsi untuk mengadili para prajurit. Sedangkan Buwato Adati, merupakan hukum yang mengikuti adat yang dipercaya masyarakat.
Selang bergantian tahun, bangunan satu ini telah beralih fungsi sebagai pagelaran saat upacara adat. Contohnya saja seperti upacara adat pernikahan, pagelaran budaya, maupun berbagai upacara adat lainnya yang ada di Gorontalo. Bentuk seperti rumah tanggung, bangunan ini terbuat dari papan yang dihiasi dengan berbagai ornamen khas Gorontalo.
Bangunan satu ini, disokong oleh 2 pilar utama yang bernama Wolihi, dan 6 tiang lainnya berada di bagian depan. Namun jumlah tiang tersebut belum semuanya, lantaran masih ada sekitar 32 pilar dasar (potu) yang berfungsi sebagai penyangga bangunan. Terdapat tangga yang terletak di bagian sisi kanan kiri bangunan. Tangga tersebut dibuat, sebagai simbol adat yang bernama Tolitihu.
Bagian atapnya, bangunan ini menggunakan material dari jerami yang dianyam terlebih dahulu. Bentuk atapnya sendiri, seperti pelana segitiga yang tersusun menjadi 2. Pelindung bagian atas bangunan tersebut, ternyata juga tidak dibangun sembarangan. Sebab bagian atap melambangkan syariat beserta adat dari masyarakat Gorontalo sendiri.
Sebab atap tersebut dibuat menjualng tinggi, yang bisa menandakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain atap utamanya, bangunan ini memiliki atap lainnya yang berada lebih rendah daripada atap utamanya. Atap keduanya tersebut, telah mewakili penggambaran kepercayaan kepada adat dan istiadat yang berlaku di daerah tersebut.
Beberapa bagian gedung, menggunakan material kayu sebagai bahan dasarnya. Bagian gedung tersebut meliputi lantau, pagar, dinding, dan tangga. Gedung satu ini, bisa dikatakan sebagai bangunan yang unik. Keunikannya terletak pada anjungan, yang biasa digunakan sebagai tempat beristirahatan Raja beserta keluarganya di masa lampau. Anda yang penasaran dengan wujud bangunan ini, bisa mendatangi kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Gorontalo.
Dilihat secara keseluruhan, berbagai hunian yang berada di Kota Gorontalo dipengaruhi kebudayaan Islam. Kondisi tersebut bukan tanpa alasan, sebab kota Gorontalo menjadi wilayah kekuasaan dari kerajaan Islam yang cukup besar ketika masanya. Oleh karenanya, kebudayaan Islam di tempat ini sangat mengakar kuat. Sehingga tidak mengherankan bila, hukum yang digunakan mash bersangkutan dengan agama Islam.