Mengenali rumah adat Papua adalah bentuk mempelajari budaya. Ada 7 jenis rumah adat yang sederhana namu sarat filosofi, fungsi dan berbagai keunikannya.
Papua adalah provinsi yang terletak di ujung timur wilayah terluar Indonesia. Salah satu aspek keragaman budaya Papua dapat dilihat melalui keberadaan rumah adat Papua. Lebih dari sekadar hunian penduduk, rumah adat memiliki makna yang sangat mendalam.
Masyarakat Papua terbagi atas banyak suku, budaya, dan tradisi. Oleh karena itu, tidak heran jika rumah adatnya sendiri sampai mencapai angka 7. Namun demikian, keberagaman ini justru menjadikan Indonesia, khususnya Pulau Papua, sangat unik.
Mengenali beberapa rumah adat Papua merupakan sebuah cara praktis mempelajari warisan budaya di wilayah terluar negara ini. Sebuah tempat yang menjadi saksi atas representasi kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Setiap rumah adat faktanya mendeskripsikan hidup setiap sukunya. Berikut 7 rumah adat tradisional Papua dan Papua Barat yang perlu untuk diketahui.
1. Rumah Ebai

Rumah Ebai biasanya ditinggali oleh perempuan dewasa. Ebai diadopsi dari kata ebe yang bermakna tubuh, sedangkan ai bermakna perempuan. Bisa disimpulkan secara bahasa Rumah Ebai berarti tubuh perempuan, yang menunjukkan betapa penting kedudukan perempuan. Sebelum laki-laki terlahir ke dunia, maka dia akan tinggal di dalam tubuh perempuan terlebih dahulu.
Ukuran Rumah Ebai relatif pendek dan kecil bila dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Rumah Ebai biasanya berada di sebelah kiri Rumah Honai, namun pintunya tidak diletakkan sejajar. Sebuah bangunan sederhana yang difungsikan sebagai hunian dan tempat perempuan beraktivitas. Di sini pula seorang ibu mendidik anak-anaknya sebelum mereka beranjak dewasa dan menikah.
Rumah Ebai memiliki arti mendalam bagi perempuan, di mana berfungsi sebagai tempat mempelajari beragam ilmu mengenai hidup, terutama urusan setelah berumah tangga. Memiliki atap setengah lingkaran, bentuknya benar-benar unik.
Aktivitas seperti merawat anak, melayani suami, memasak, dan sejenisnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan di lini rumah adat, khususnya masyarakat Suku Dani.
2. Rumah Honai

Agaknya, inilah rumah adat paling populer, yaitu Rumah Honai. Tempat tinggal para laki-laki dewasa dan kerap akan Anda temukan di wilayah pegunungan atau lembah. Jika hanya dilihat sekilas, rumah khas Suku Dani ini tampak bagai jamur karena berbentuk melingkar dengan bagian atap yang mengerucut.
Dinding Rumah Honai tidak lebih luas dibandingkan atapnya, di mana atapnya justru jauh lebih besar dan berbahan dasar jerami. Proses pembuatan ini dilandasi oleh alasan cuaca, dengan penampilan demikian Rumah Honai mampu melindungi penghuninya dari terpaan hujan. Ukurannya terbilang kecil, hanya berkisar 5 meter kubik saja.
Memiliki dua ruangan terpisah dan terdiri dari dua lantai. Di lantai pertama, penghuni bebas menjalankan sejumlah kegiatan harian, sedangkan di lantai difungsikan sebagai tempat tidur. Memang tidak bisa dimungkiri, Rumah Honai umumnya memiliki ukuran yang relatif sempit, begitu mencerminkan kesederhanaan bagi pemiliknya.
Dindingnya didesain kecil dan cenderung membulat untuk meminimalisir terpaan hawa dingin. Ini karena Suku Dani hidup di kawasan lembah di Balem, Kabupaten Jayawijaya, Papua Barat. Di sisi lain, bentuk Rumah Honai bisa jadi berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang mengadopsi ciri seperti setengah batok kelapa, ada juga yang bagaikan kerucut.
Menariknya, hanya penduduk laki-laki yang boleh membangun salah satu rumah adat khas Papua ini. Seolah masih belum cukup, estimasi waktu pembangunan turut serta ditetapkan secara rinci dan tidak boleh dilanggar. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh letak geografis. Dimana cuaca buruk maupun bencana alam bisa sewaktu-waktu terjadi begitu saja.
Ada pula aturan penempatan pintu rumah, yang mana posisinya harus sejalan dengan arah sang surya baik ketika tenggelam ataupun terbit. Penentuan arah dianggap bisa memberi kesigapan bagi sang pemilik jika terjadi hal tak terduga, misalnya serangan musuh atau kebakaran.
Selain berfungsi sebagai hunian, Rumah Honai juga kerap dijadikan ruangan untuk menyimpan mumi hasil buruan atau jenazah yang diawetkan. Termasuk pula di antaranya simbol adat dan barang warisan para leluhur. Perempuan dilarang memasuki Rumah Honai, sekalipun bagian dari keluarga tersebut. Hanya laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, yang dijinkan keluar masuk Rumah Honai.
Honai sendiri berasal dari perpaduan kata hun yang bermakna laki-laki, serta ai yang bermakna rumah. Ternyata penamaan tersebut sangat mencerminkan penghuninya. Saat dilihat sekilas dari jauh, Rumah Honai akan mengingatkan Anda pada Mbaru Niang, rumah adat Nusa Tenggara Timur (NTT).
3. Rumah Kariwari

Masih rumah adat yang mencerminkan kekhasan Suku Dani, Rumah Kariwari difungsikan sebagai hunian anak laki-laki yang sudah memasuki usia 12 tahun. Tempat mereka belajar tentang arti hidup dan cara memperoleh nafkah. Baik itu perburuan, memahat, menciptakan perahu, bahkan peperangan. Bisa dibilang, Rumah Kariwari adalah saksi bisu peralihan usia seorang laki-laki.
Tingginya berkisar 20 meter dengan diisi oleh tiga lantai. Lantai pertama kerap dijadikan arena belajar. Jika ada pertemuan antara kepala suku, maka lantai dua yang berfungsi menjembatani hal tersebut. Adapun lantai tiga, lebih berguna untuk ketenangan sang pemiliknya, misalnya untuk meditasi, berdoa, dan istirahat.
4. Rumah Wamai

Rumah Wamai tidak ditinggal oleh manusia, melainkan hewan ternak. Dalam arti yang lebih modern, Rumah Wamai ini difungsikan sebagai kandang. Hewan ternak pemilik seperti anjing, kambing, atau babi diletakkan di sini agar tetap aman. Memiliki bentuk yang sangat fleksibel, bisa lingkaran atau persegi.
Ukuran dan bentuknya menyesuaikan jumlah total hewan peliharaan si pemilik. Rumah Wamai umumnya terletak tidak jauh dari Rumah Ebai dan Rumah Honai.
5. Rumah Kaki Seribu

Rumah adat kali ini mungkin akan mengingatkan Anda pada salah satu hewan melata, yakni ular kaki seribu. Memang bentuknya cukup unik, di mana ada penyangga yang sangat banyak. Agaknya, model rumahlah yang melandasi penamaan Rumah Kaki Seribu. Anda bisa menemukannya di wilayah Pegunungan Arfak.
Didiami oleh Suku Hatam, Meyalkh, Sough, dan Moille. Tujuan pemodelan rumah yang tinggi dilengkapi banyak tiang penyanggah tidak lain untuk menghindarkan penghuni dari ancaman binatang buas. Ternyata, sejumlah warga di ujung timur negeri ini masih hidup dalam keterbatasan dan belum tersentuh dunia modern.
Rumah Kaki Seribu secara spesifik bisa Anda temukan di Kabupaten Manokwari, dihuni oleh penduduk dari kalangan Suku Arfak. Nama lain rumah ini adalah Igkojei atau Mod Aki Aksa. Bentuknya tampak seperti rumah panggung yang memang lazim ada di daerah-daerah pedesaan Nusantara.
Hanya saja, berbeda dengan rumah panggung lain yang masih menyisakan ruang atau kolong di bagian bawah, Honai justru nyaris tidak memiliki kolong rumah. Tidak seperti rumah panggung yang biasanya disanggah oleh empat tiang utama, tiang di sini justru benar-benar banyak sehingga hampir tidak menyisakan space.
Walau dari luar bentuknya amat sederhana, namun Rumah Kaki Seribu mampu memberikan kenyamanan bagi pemiliknya. Selain tiang pengangga kecil yang tersebar di kolong, rumah ini tetap dilengkapi tiang penyangga utama yang tersebar di setiap sudutnya. Di samping itu, hanya dibangun dua pintu dan tanpa jendela satu pun tampak di rumah adat Papua satu ini.
Material dinding memanfaatkan kulit pohon butska, sementara atapnya memadukan sekumpulan daun pandan yang ditumpuk-tumpuk. Lantainya menggunakan bilah bambu yang ditata sedemikian rapi dan rapat. Kata unik saja tampaknya belum cukup untuk mendeskripsikan Rumah Kaki Seribu.
Namun demikian, seiring pertumbuhan jumlah transmigran dan terjadinya modernisasi, Rumah Kaki Seribu semakin jarang ditemukan di kota besar. Umumnya, masyarakat asli Suku Arfak dan tinggal jauh di pedalaman saja yang masih menghuni rumah ini.
Pada faktanya, modernisasi memang tidak dapat dihindari. Meski begitu, tradisi harus tetap dilaksanakan sebagai bagian dari kearifan lokal. Mengingat kental akan nilai-nilai positif kehidupan, penting untuk senantiasa dilestarikan agar dapat menjadi pelajaran bagi generasi di masa yang akan datang.
6. Rumah Pohon

Seperti namanya, rumah ini dikelilingi oleh pohon, tepatnya berdiri kokoh di atas batang pohon. Menjulang di atas ketinggian 15 sampai 30 meter dari permukaan tanah. Rumah khas cerminan keunikan masyarakat Suku Korowai. Material utama tak jauh berbeda bagian dari deretan rumah adat lainnya, yakni memanfaatkan kayu. Bedanya, Rumah Pohon menggunakan kayu hidup.
Masyarakat setempat percaya rumah berbentuk sejenis ini akan menghindarkan pemiliknya dari ancaman roh jahat dan binatang buas. Namun demikian, sampai sekarang jumlah total masyarakat Suku Kurowi diperkirakan hanya 3000 jiwa saja. Di samping itu, Anda pun akan kesulitan menemukan Rumah Pohon lagi.
Suku Korowai sekali penduduk asli yang menempati Rumah Pohon sesungguhnya hidup di wilayah yang terapit oleh gunung dan sungai besar. Keberadaan mereka diketahui kurang lebih 35 tahun silam oleh seorang misionaris Belanda, Johanes Velduizen. Tepatnya, berada di Kabupaten Mappi, Kaibar.
Konon katanya, Rumah Pohon sengaja didesain tinggi untuk berlindung dari roh jahat bernama laleo, iblis yang kejam. Laleo digambarkan sebagai makhluk yang berkeliaran pada malam hari dan tampak seperti mayat hidup. Masyarakat Suku Korowai meyakini bahwa roh jahat akan semakin sulit mendekat jika posisi rumah mereka semakin tinggi.
7. Rumah Rumsram

Selanjutnya, rumah adat yang tidak kalah unik adalah Rumah Rumsram. Sebuah tempat yang menjadi ciri khas Suku Biak Numfor. Memiliki satu ruangan tanpa sekat dengan dilengkapi dua pintu serta jendela. Bila dilihat secara saksama, bentuknya tampak bagai rumah panggung, di mana bagian bawah dibiarkan terbuka tanpa penghalang
Diperuntukan kepada para laki-laki Suku Biak Numfor yang telah berumur 12 tahun. Sebagai tempat yang berfungi untuk memfasilitasi proses belajar, baik itu mengenai pencarian nafkah maupun makna hidup secara luas. Saksi bisu yang menjadi teman tumbuh dan berkembang seorang laki-laki dalam usia rentan.
Biasanya, ilmu yang dipelajari anak berusia 12 tahun mencakup aktivitas berburu, cara berperang, hingga membuat perahu. Tiga hal lumrah yang sudah menjadi budaya tak terpisahkan dalam kehidupan laki-laki Suku Biak Numfor.
Begitu banyak keunikan yang tersimpan di daerah pedalaman Papua. Walau zaman telah berubah, terjadi transmigrasi besar-besaran, bahkan diterpa oleh modernisasi, tetapi tidak lantas menghilangkan tradisi dan budaya begitu saja. Deretan jenis rumah adat Papua dan Papua Barat di atas akan terus dikenang, paling tidak oleh masyarakat sekitar.