Maluku dikenal begitu kaya akan budaya, salah satunya bisa dilihat pada rumah adat Sasadu. Rumah tradisional suku Sahu di Halmahera Barat dimanfaatkan sebagai tempat ritual adat, tempat pertemuan, penjamuan tamu luar, acara pernikahan, hingga musyawarah adat.
Terkenal sebagai salah satu wilayah penghasil rempah rempah terbaik, Maluku menjadi daerah penting di Indonesia yang terus dikembangkan. Selain kaya akan rempah rempah, Maluku juga begitu kaya akan budaya. Sebut saja seperti bagaimana daerah ini memiliki sejumlah rumah adat dengan berbagai keunikannya. Salah satunya yaitu rumah adat Sasadu.
Rumah Sasadu adalah sebuah rumah adat yang dimiliki oleh suku bangsa Sahu di Halmahera Barat. Dimana suku Sahu tersebut merupakan suku bangsa asli dan tertua yang menetap di daerah ini. Sehingga rumah adat tradisional ini begitu lazim ditemui di daerah Halmahera Barat. Masyarakat banyak yang menggunakannya sebagai tempat berkumpul dalam pertemuan pertemuan.
Misalnya menyambut tamu penting yang akan datang ke wilayah Halmahera Barat, ritual atau upacara adat layaknya pemilihan ketua adat dan perayaan panen, serta acara acara penting lainnya. Kendati demikian, masyarakat juga bisa menggunakan rumah adat Sasadu hanya sebagai tempat bersantai saja meski tidak ada acara khusus.
Fakta Menarik Rumah Adat Sasadu
1. Fungsi Rumah Sasadu
Fungsi utama rumah Sasadu adalah sebagai tempat pelaksanaan upacara adat. Suku Sahu memang merupakan masyarakat agraris yang religius, dimana kepercayaan yang mereka anut pada zaman dahulu adalah kepercayaan primitif animisme. Hal ini terlihat pada bidang pertanian perladangan, karena mereka mengadakan berbagai upacara seperti sa’ai mango’a dan sa’ai lamo.
Sa’ai mango’a adalah pesta adat setelah penaburan benih padi. Sa’i artinya adalah memasak sementara ngo’a berarti anak. Namun upacara ini tidak diartikan secara harfiah sebagai memasak anak, karena ini merupakan pesta yang gembira dan berlangsung selama tiga hari tiga malam saat padi yang ditanam sudah berumur 2 atau 3 minggu.
Sementara sa’ai lamo adalah pesta syukur adat yang berlangsung selama 7 hingga 9 hari lamanya. Namun lama berlangsungnya pesta umumnya disesuaikan dengan jumlah dari faras atau atap Sasadu, yang mana jumlahnya selalu ganjil yaitu 5, 7, atau 9. Selain upacara adat, musyawarah adat juga acap kali dilakukan di Sasadu.
2. Bentuk Arsitektur
Jika dilihat dari sudut skala serta penyelesaian ruang menurut fungsinya, bentuk arsitektur dari rumah adat Sasadu sudah jelas sangat berbeda dengan rumah hunian pada umumnya. Karena rumah ini sendiri memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan rumah penduduk kala itu. Secara arsitektur, kesan yang bisa ditangkap dari bangunan ini adalah kumpulan deretan tiang dan atap pelana.
Dimana tiang serta atap pelana tersebut kemudian ditarik panjang ke-4 sisi, sehingga membuat bentuk seperti segi 8. Atap pelana adalah penutup ruangannya dan merupakan bagian paling tinggi pada rumah Sasadu. Atap ini memiliki dua bentuk yang tersusun, yang mana pada bagian atasnya curam dan bagian bawahnya melandai serta menjorok ke samping.
Bentuk atap tersebut membuat tidak adanya kemungkinan silau bagi setiap orang yang ada di dalam bangunan Sasadu. Namun sebaliknya, atap yang rendah atau melandai dan menjorok ke samping membuat orang yang masuk perlu sedikit menundukkan kepala, terlebih jika orang tersebut cukup tinggi.
Lalu untuk “lantai dalam” atau bagian dalam bangunan memiliki tinggi kurang lebih 30 hingga 45 cm dari muka tanah luar. Tinggi lantainya sengaja dibuat tidak sama rata dengan tanah di luar agar mencegah masuknya air, sekaligus memberikan batas bingkai yang cukup jelas antara bagian dalam rumah dan luarnya.
3. Struktur Bangunan
Rumah tradisional umumnya memang menggunakan struktur bangunan langka, tak terkecuali dengan rumah Sasadu ini yang menerapkan sistem konstruksi rangka dengan elemen elemen utama kolom primer dan sekunder. Kolom kolom ini diikat oleh balok primer dan sekunder, yang juga diikat balok melintang, melingkar, dan memanjang menjadi satu kesatuan kokoh.
Namun seluruh kolom pada struktur bangunan ini tidak ditanam mati di dalam tanah, melainkan berdiri pada atas landasan umpak batu utuh, bukan batu belah. Struktur rangkanya ini mempunyai 4 buah rangka utama, dengan jarak antar rangka yang disebut travee. Jadi, Sasadu ini memiliki tiga buah travee.
4. Bahan Bangunan
Atap Sasadu terbuat dari daun sagu, dan panjang daun ini dihitung menurut jumlah warasa atau daun atap yang telah digariskan oleh adat setempat. Jumlah daun atap tersebut berhubungan dengan lama upacara panen tahunan yang hendak diselenggarakan. Selain itu, bahan bahan bambu, kayu, serta daun daunan yang ada di lingkungan juga dimanfaatkan sebagai bahan pokok.
Bahan bahan pokok yang berasal dari lingkungan sekitar membuat Sasadu amat sesuai dan begitu menyatu dengan lingkungannya. Sementara komponen komponen dari bangunan Sasadu bisa dibuat secara terpisah, dengan cara menyatukan semua komponen yang sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Dengan kata lain, Sasadu dapat dengan mudah dibangun dan juga mudah untuk dipisahkan kembali menjadi komponen komponen penyusunnya. Untuk kolom kolom tiang utama sebagai penyangga bangunan, Sasandu menggunakan bahan kayu gofasa atau kayu sejenis kelas 1. Sementara bahan bambu adalah bahan utama untuk reng dan usuk pada rangka atap.
Lalu daun rumbia sebagai bahan untuk penutup atapnya. Kemudian lantai atau bagian ruang dalam Sasadu terbuat dari tanah sebagai materialnya. Melihat bahan bahan ini, mengindikasikan bahwa Sasadu bisa dengan mudah dipindahkan apabila masyarakat suku tersebut menghendaki demikian.
Makna Filosofi dari Rumah Adat Sasadu
Rumah Sasadu yang cukup sederhana menjadi simbol dari kebersamaan antar sesama suku Sahu. Yang mana pembuatan rumah adat satu ini sama sekali tidak menggunakan paku, ini memiliki makna bahwa suku Sahu begitu menghargai kaum perempuan. Selain itu, di dalam Sasadu diletakkan dua buah meja.
Satu meja untuk kaum perempuan yang diletakkan pada posisi paling depan, dan satu meja lagi untuk kaum laki laki yang mengambil posisi paling belakang. Posisi meja tersebut merupakan makna bahwa kaum perempuan lebih diutamakan, dan kaum laki laki selalu siap untuk melindungi dari belakang.
Memang hampir setiap bagian dari Sasadu mempunyai makna filosofisnya tersendiri yang amat kental, serta begitu berkaitan erat dengan kebudayaan yang ada di daerah setempat. Misalnya bagian bawah dari atap Sasadu yang dibuat jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan bagian langit langitnya.
Bagian bawah atap yang lebih pendek tersebut membuat siapapun yang masuk harus sedikit menunduk, ini berarti setiap orang yang datang ke Maluku harus menghormat aturan setempat. Lalu ada lagi bagian ukiran pada atap rumah yang dibuat dengan bentuk menyerupai perahu. Ukiran tersebut adalah lambang kebanggaan bagi masyarakat Maluku sendiri.
Pasalnya masyarakat Maluku sejak zaman dahulu diceritakan lahir dari keturunan pelaut ulung, yang begitu gemar melaut. Sistem hirarki di kapal bahkan terlihat pada bangunan yang mengandung arti bahwa bagian tertingginya diduduki oleh kolano (penyebutan raja atau sultan di daerah), namun dilindungi oleh para panglima. Sementara d belakang adalah masyarakat yang dipimpin ketua adat.
Keunikan yang Dimiliki Rumah Sasadu
Meskipun rumah adat Sasadu tidak dilengkapi dengan dinding, namun bangunan rumah ini mempunyai cukup banyak pintu sebagai penggantinya. Apabila diperhatikan dengan teliti, terdapat setidaknya enam buah pintu masuk yang ada di setiap rumah adat ini. Dari keenam pintu yang ada tersebut, masing masing digunakan secara berbeda.
Dua pintu digunakan untuk kaum perempuan, dua pintu untuk kaum laki laki, dan dua pintu lagi lainnya dikhususkan sebagai jalan untuk para tamu yang datang. Pada bagian atap rumah, ada dua helai kain yang berwarna merah dan putih. Kain ini sengaja disematkan sebagai lambang komitmen serta rasa nasionalisme yang tinggi dari masyarakatnya.
Kemudian ada pula bola bola yang dibungkus ijuk sebagai simbol dari kestabilan dan kearifan. Tidak cukup sampai di sini saja keunikan dari rumah tradisional Sasadu. Keunikannya juga terlihat saat upacara adat berlangsung di rumah ini. Yang mana pada saat upacara berlangsung, tidak semua anggota masyarakat diperkenankan untuk hadir.
Namun hanya orang laki laki dan perempuan yang merupakan klen klen paling terkemuka dalam kelompok Ngowarepe, Walasae, Walangatom, dan lain sebagainya, yang dianggap sebagai tuan tanah di daerah tersebut. Tempat duduk dari masing masing orang ini pun diatur berdasarkan keanggotaannya dalam satu satu klen, melalui garis keturunan laki laki.
Selain itu, tempat duduk tersebut juga diatur menurut posisi hierarkis klennya dalam kelompok teritorial yang jauh lebih besar seperti walasae. Di Sahu, posisi klen memang selalu digambarkan dengan cara seperti itu, dan bagi seseorang yang dianggap sebagai perwakilan nenek moyang atau omenge akan menempati bangku nenek moyangnya terlebih dahulu.
Rumah adat Sasadu memiliki gaya arsitektur serta ornamen yang khas hingga sejumlah keunikan yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi budaya Indonesia. Tidak heran apabila orang orang Maluku pun begitu menjaga serta melestarikan budaya ini hingga saat ini. Bahkan Sasadu dijadikan sebagai jati diri bagi masyarakat setempat, yang mana sampai saat ini fungsinya tidak berubah.